Wednesday 11 December 2013

TEKNOLOGI ALAT BANTU PENANGKAPAN IKAN


OTTER BOARD

       I.            PENDAHULUAN

Kata trawl sendiri berasal dari bahasa Perancis troler dan dalam bahasa Inggris berasal dari kata trailing mempunyai arti yang bersamaan, dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata tarik ataupun mengelilingi seraya menarik (Ayodhyoa, 1981).
Dari kata “trawl” lahir kata “trawling” yang berarti kerja melakukan operasi penangkapan ikan dengan trawl, dan kata “trawler” yang berarti kapal yang melakukan trawling. Jadi yang dimaksud dengan jaring trawl ( trawl net ) disini adalah suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal ( baca : kapal dalam keadaan berjalan ) menelusuri permukaan dasar perairan untuk menangkap ikan, udang dan jenis demersal lainnya. Jaring ini juga ada yang menyangkut sebagai “jaring tarik dasar”.
Berdasarkan posisi jaring di dalam air selama operasi penangkapan, trawl dibedakan menjadi trawl permukaan (surface trawl), trawl pertengahan (mid water trawl), dan trawl dasar (bottom trawl). Menurut Ayodhyoa (1981) dalam Astuti (2005), berdasarkan posisi penarikan oleh kapal, trawl dibedakan menjadi side trawl, stern trawl, dan double rig trawl. Menurut Nomura (1981) dalam Astuti (2005), berdasarkan banyaknya dinding jaring yang digunakan dalam konstruksinya, dibedakan menjadi two seam trawl net, four seam trawl net, dan six seam trawl net.
Trawl merupakan jaring yang berbentuk kerucut yang dioperasikan  dengan menghela (towing) di dasar perairan dengan menggunakan kapal. Untuk membuka mulut jaring kearah samping  atau secara vertical digunakan otterboard dan untuk membuka kearah atas dipasang pelampung pada tali ris atas dan pemberat pada tali ris bawah. Trawl diperkenalkan sekitar tahun 1870 di Sungai Themmes (Nomura and Yamazaki, 1977).
Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan trawl di Indonesia telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, walaupun pada saat itu masih dalam percobaan.  Pada tahun 1966 trawl sering disebut dengan pukat harimau mulai marak dioperasikan , yang bermula dari Tanjungbalai Asahan kemudian menyebar ke berbagai perairan lainnya. Dengan KEPPES 39 tahun 1980 trawl dilarang dioperasikan oleh pemerintah Indonesia.

    II.            PENGERTIAN DAN TEKNIK PENGOPERASIAN OTTER BOARD


Papan pembuka mulut jaring (Otter board) adalah peralatan yang membantu untuk membuka mulut trawl terbuka pada saat alat dioperasikan (ditarik oleh kapal), karena memberikan gaya horizontal ke sisi luar mulut jaring. Satu unit alat tangkap trawl menggunakan sepasang papan pembuka mulut jaring (Otter board) di sayap kiri dan sayap kanan trawl.
Fungsi otter board mirip dengan layang-layang di udara yang menghasilkan dua komponen gaya yaitu gaya angkat (lift) dan hambatan (drag).  Demikian juga otter board menghasilkan dua komponen gaya, yaitu sheer dan drag. Sheer (mirip pada layang-layang, lift) akan mendorong otter board ke arah luar garis lunas (centerline) sebaliknya drag (drag force) akan meningkatkan total resistan trawl.  Otter board yang baik memiliki sheer yang besar dan drag yang kecil (Nomura, 1975).
Bentuk-bentuk otter board menurut Prado (1990) terdiri dari rectangular flat, rectangular cambered, oval cambered slotted, Vee, dan yang paling populer dan efisien digunakan adalah tipe rectangular cambered (Süberkrüp) yang memiliki perbandingan tinggi terhadap panjang (aspect ratio) 2 : 1 dan drag sangat rendah yang memungkinkan diperoleh bukaan samping optimum.
Papan pembuka mulut jaring (Otter board) terbuat dari papan atau baja. Alat tangkap yang berukuran relatif besar (Head rope lebih besar dari 20 m), pada umumnya menggunakan papan pembuka mulut jaring (Otter board) yang terbuat dari baja dan ukuran papan pembuka mulut jaring (Otter board) yang digunakan relatif besar. Alat tangkap trawl yang berukuran relatif kecil masih banyak yang menggunakan papan pembuka mulut jaring (Otter board) yang terbuat dari kayu (Nainggolan Chandra, 2007).
Prinsip kerja papan pembuka mulut jaring(Otter board) pada dasarnya sama dengan layangan di udara, layangan naik ke udara karena adanya gaya yang dibebankan oleh angin, sedangkan pada papan pembuka mulut jaring(Otter board) karena adanya tekanan gaya akibat “gerakan air laut” yang disebabkan oleh bergeraknya papan pembuka mulut jaring (Otter board) di dalam air yang ditarik kapal yang mengoperasikan alat tangkap trawl.
 III.            DAMPAK TERHADAP EKOSISTEM
Otter board adalah alat bantu yang digunakan pada trawl yang berfungsi untuk membuka mulut jaring pada trawl. Otter board ini terbuat dari besi atau baja sehingga ketika dilakukan pegoperasian pada trawl ini maka akan merusak ekosistem laut karena  biota laut akan rusak baik berupa karang tempat perlindungan ikan maupun ikan kecil sampai besar disapu bersih bahkan  bibit ikan semua jenis habis.
Selain itu, otter board juga  merusak rumpon-rumpon nelayan tradisional. Hal inI terjadi karena ketika trawl ini dioperasikan maka akan menabrak atau menggerus semua yang dilewati termasuk rumpon-rumpon yang terpasang di laut, sehingga rantai makanan yang terbentuk pada rumpon-rumpon tersebut akan rusak dan ikan-ikan yang berada di daerah rumpon tersebut akan bermigrasi ketempat lain untuk mendapatkan sumber makanan.
Sehingga, diperlukan pengelolaan secara baik harus dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sehingga ekosistem laut akan selalu terpelihara dengan baik. Jika menggunakan alat tangkapan ikan yang tak ramah lingkungan atau alat tangkap yang dilarang, maka hal itu akan merusak segala apek kehidupan yang ada dilautan luas. Selain itu, lingkungan juga akan rusak sehingga akan berakibat fatal bagi manusia dan akan terjadinya bencana karena dampak dari penggunaan alat tangkap itu akan merusak lingkungan.

 IV.            KESIMPULAN
Otter board adalah salah satu alat bantu yang digunakan dalam pengoperasian trawl,  terbuat dari baja atau kayu, yang dirancang secara khusus agar mampu  membuka mulut trawl secara  horisontal. Otter board dimaksudkan untuk membuka mulut trawl ke arah horisontal (bukaan samping) dengan memanfaatkan resistan hidrolik (hydraulic resistance) terhadap aliran air. 
Penggunaan otter board pada trawl ini dapat merusak lingkungan dan ekosistem di perairan karena ketika trawl dioperasikan maka akan menggerus atau membajak semua unsur hara atau rantai makanan yang telah terbentuk di perairan. Sehingga, tidak ramah lingkungan.
Fungsi trawl ini tergantung pada otter boardnya, sebuah trawl tidak akan bekerja dengan baik apabila otter boardnya bermasalah seperti Otterboat tidak bekerja dengan baik, misalnya terbenam pada lmpur pada waktu permulaan penarikan dilakukan. Otter board yang hilang keseimbangan, misalnya otterboat yang sepihak bergerak ke arah pihak yang lainnya lalu tergulung ke jaring. Hal inilah yang menyebabkan



DAFTAR PUSTAKA
http://www.slideshare.net/search/slideshow?searchfrom=header&q=dampak+penggunaan+trawl
http://davidkaubanase.blogspot.com/2012/03/alat-tangkap-trawl.html
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/010/ah827o/ah827id09.pdf

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1teknikkapal/0820316011/bab2.pdf

Sunday 31 March 2013

DESTRUCTIVE FISHING

BAB I

 PENDAHULUAN

I. 1. LATAR BELAKANG

Menurut Dahuri (2005), salah satu faktor penyebab deplesi sumberdaya perikanan laut adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sifatnya destruktif. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ini pada dasarnya merupakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal.  Penggunaan bom, racun, pukat harimau, dan alat tangkap lainnya yang tidak selektif, menyebabkan terancamnya kelestarian sumberdaya hayati laut, akibat kerusakan habitat biota laut dan kematian sumberdaya  ikan.
Dewasa ini, sumberdaya terumbu karang yang ada di Kabupaten Nias Selatan  telah mengalami kerusakan.   Menurut CRITC (2006) terdapat 3.728 hektar terumbu karang di Kabupaten Nias Selatan dan sebagian besar berada di kawasan Pulau- Pulau Batu.   Kerusakan terumbu karang ini telah mencapai  72 %,  dan hanya sekitar 5 % yang masih dalam kondisi sangat baik.  Penyebab utama kerusakan terumbu karang di Nias Selatan adalah akibat kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak, racun dan pukat harimau untuk penangkapan ikan (illegal fisihing). Selain itu, penambangan karang sebagai bahan bangunan, pengambilan bunga karang sebagai  souvenir,  dan tektonik bumi merupakan faktor yang mempercepat degradasi terumbu karang.
Degradasi ekosistem terumbu karang secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitufaktor alami (autogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas manusia (antrophogeniccauses) baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia di darat sepertipertanian yang menggunakan pupuk organik, anorganik dan pestisida dapat mempengaruhikehidupan organisme yang hidup dalam ekosistem ini karena sebagian dari bahan-bahan tersebuthanyut ke laut melalui aktivitas run-off
. Selain itu, penebangan hutan yang tidak terkontrol jugamengakibatkan erosi dimana akan berdampak pada tingginya laju sedimentasi yang masuk kedalam perairan laut sehingga menutupi polip-polip karang. Aktivitas manusia lainnya yang jugamerusak ekosistem terumbu karang secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramahlingkungan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti sianida dan bahan peledak yangdapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang dan kerusakan secara fisik terumbu karang.Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi peledakan, jugadapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan penyusun karang sehingga karang menjadiberubah warna yang akhirnya mati serta ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target.Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensimenimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.

I. 2. RUMUSAN MASALAH

            Pada makalah ini, rumusan masalah atau batasan masalahnya yaitu:
A.  Apa pengertian “Destructive Fishing”?
B.   Apa bentuk-bentuk dari “destructive Fishing”?
C. Apa penyebab dan dampak dari “Destructive Fishing”
D. Apa penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan?

I. 3. TUJUAN

            Tujuan dari pembuatan makalah ini agar kita dapat mengetahui tentang pengertian destructive fishing, alat tangkap yang merusak, dan dampak yang ditimbulkan serta upaya yang akan dilakukan untuk meminimalisasi pengangkapan yang tidak ramah lingkungan.





 




BAB II

PEMBAHASAN

II. 1. Pengertian Destructive Fishing

            “Destuctive Fishing” merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan  nelayan seperti  menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan. Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya ingin meraup keutungan yang besar dengan cara cepat/instan akan tetapi  memberikan dampak yang tidak baik bagi ekosistem perairan khususnya terumbu karang.
Destructive fihsing merupakan kegiatan illegal fishing yaitu dengan tujuan menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak namun dengan etika penangkapan yang salah. Karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut, dan berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan yang di kategorikan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang

II. 2. Bentuk-Bentuk Destructive Fishing

            Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum (kejahatan). Secara umum,maraknya destructive fishing  disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali danluasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yangada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnyakemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hokum, serta (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dikatakan sebagaidestructive fishing, beberapa diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penggunaan Bahan Peledak (Bom)



Penggunaan bahan peledak bom (dengan bahan berupa pupuk; cap matahari, beruang, obor). Tropical Research and Conservation Centre (TRACC) mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap bahan peledak yang beratnyakurang lebih 1 kilogram diledakkan, dapat membunuh ikan dalam radius 15hingga 25 meter, atau sekitar 500 meter persegi, dan menyisakan kawah sedalamsekitar 3 hingga 4 meter diameter terumbu karang. Sementara IMA Indonesia(2001) mencatat penggunaan bahan peledak berukuran botol minuman yang paling banyak dilakukan oleh nelayan diperkirakan merusak setidaknya 10 meter  persegi. Kadang-kadang bom berukuran kecil dilempar lebih dulu untuk mematikan ikan-ikan kecil, lalu disusul dengan bom yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Penangkapan ikan dengan caramenggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar  berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.

 Penggunaan Bahan Kimia

 

Penggunaan bahan kimia seperti :, bius (kalium cianida – KCn) dan tuba (akar tuba). Kegiatan penangkapan dengan bius dan tuba dilakukan pada daerah karangyang diduga masih memiliki ikan yang banyak. Pelaku menyemprotkan bius atautuba kesela-sela karang agar ikan stress, pingsang sehingga mudahmengambilnya. Bahkan tidak jarang pelaku membongkar karang dengan linggisuntuk mendapatkan ikan yang masih ada dalam liang karang. Dampak ekologisnya, penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis- jenis ikan karang, misalnya ikan hias, kerapu dan sebagainya. Disamping itu,dalam satu kali semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampumematikan terumbu karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3hingga 6 bulan.
Secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang yang cukup tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar bersembunyi atau melakukan pembiakan pada lubang-lubang terumbu karang. Sedang pelaku pembius memasukkan/ menyemprotkan obat kedalam lubang dan setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan dan mati, sehingga mereka dengan muda mengambil ikan.
3.    Penggunaan Alat Tangkap

*      Pukat harimau (trawl)
Pukat harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan. Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yangsangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampaidengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaringtersebut. Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu kedasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerusmenyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan.
Pukat harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini telah dilarang di wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya adalah karang mati, atau sulit bertahan hidup di daerah dimana nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan.

*      Penggunaan Bubu (Trap)




Saat ini bubu (trap) adalah sejenis alat yang paling banyak digunakan untuk menangkap ikan karang (Alcala dan Russ 2002) dan telah banyak dioperasikan di Indonesia dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi kedua alat ini memiliki banyak keterbatasan. Hasil tangkapan per unit bubu relatif sangat terbatas dan pada pengoperasiannya umumnya menggunakan terumbu karang untuk alat kamuflase. Oleh karena hasil tangkapan per unit bubu erbatas akibat sifat kejenuhan alat (Jennings et al. 2001), maka dioperasikan sekaligus cukup banyak bubu yang diikatkan pada satu untaian tali. Dengan cara ini pada saat penurunan dan penarikan alat sering terjadi benturan antara bubu dengan dasar perairan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada dasar perairan terutama apabila terdapat terumbu karang (Valdemarsen and Suuronen 2003). Sehingga dapat dikakatakan bahwa bubu termasuk dalam kategori alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

II. 3. Penyebab dan Dampak Destructive Fishing

Ada beberapa faktor “Penyebab utama/alasan" atas pelaku terhadap kegiatan destructive fishing di salah satu daerah di pesisir perairan Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu didaerah Pulau Wawonii dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun (bius dan tuba), antara lain:
Ø Adanya Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Ø Adanya Pengedaran Bahan Baku yang masuk .
Ø Mereka dianggap sebagai Golongan Monoritas (Terabaikan).
Ø Kurangnya ketegasan sanksi hukum.
Ø Merupakan Tradisi.

Dampak yang ditimbulkan dari destructive fishing adalah sebagai berikut:

*      Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan.
*      Merusak terumbu karang/ habitat lain.
*      Mengancam jiwa/merusak badan manusia itu sendiri.
*      Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain).
*      Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut.
*      Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh.

II. 4. Penanggulangan Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan


Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di berbagai wilayah perairan di Kabupaten Biak.Praktek semacam ini selain menimbulkan kerugian ekologis, juga menimbulkan dampak socialekonomi yang sangat besar terhadap negara dan daerah, serta dapat memicu berbagai perselisihansocial yang memprihatinkan terutama akibat menurunnya produktivitas ekosistem terumbukarang. Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas manusia(antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpotensimerusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu karang mestinya diminimalisasi, salahsatunya adalah penanggulangan penangkapan yang yang menggunakan bahan peledak.Dalam upaya meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, denganmenggunakan bahan peldak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah :

1)    Pengembangan Mata Pencaharian

Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masihmiskin dan memiliki tingkat pendidikan yan sangat rendah. Perilaku masyarakat yangcenderung destruktif sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi (kemiskinan) dalam memenhikebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam mendapatkan hasil yangmaksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan ekosistem terumbu karang saja tetapi juga memutus rantai mata pencaharian anak cucu. Bukan hanya itu, factor rendahnya tingkat pendidikan juga mempengarhi perilakumasyarakat tersebut. Dengan alternative mata pencaharian (tambahan) diharapkan dapatmemberikan nilai tambah sehingga masyarakat pesisir (nelayan) destruktif akan berkurang.

2)    Penegakan Hukum

Secara umum maraknya kegiatan penangkapan ikan dengan merusak dibeberapa daerah termasuk di Kepulauan Padaido Kabupaten Biak adalah penegakan hukum. Beberapa kasus yang tidak diselesaikan secara baik dan tuntas dan transparan memicuperilaku masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat akibat penanganan pelanggaran tersebutsemestinya diperbaiki mulai dari aparat penegakan hukum yang terkait.

3)    Pendidikan dan Penyadaran tentang Lingkungan

Sebagaimana yang dipaparkan dipointpertama di atas, dimana secara umum masyarakat pesisir (nelayan) terutama yangdiindikasikan sebagi pelaku penangkapan ikan dengan merusak tersebut memiiki pendidikanrendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas. Denganpendidikan dan penyadaran tentang lingkungan dapat melalui seminar, lokakarya, workshop,studi banding dapat ditingkatkan.

4)    Pengaturan Waktu, Jumlah, Ukuran dan Wilayah Tangkap

Di beberapa lokasi pengaturanwaktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap sudah dikembangkan. Namun kendalanya dibeberapa lokasi di Indonesia khususnya di Kepulauan Padaido merupakan sesuatu hal angmasih sulit. Hal inidisebabkan oleh masih terbatasnya penelitan/kajian aspek-aspek dariterumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta sumberdaya manusiapelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih terbatas.

Implementasi dari empat point penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungandengan cara merusak (destructive fishing) dapat dipastikan meminimalisasi dampak dari kegiatantersebut tentunya jika diimplementasikan dengan baik (focus dan terintegrasi).

BAB III

PENUTUP


III. 1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah sebagai berikut:
Destuctive Fishing” merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan  nelayan seperti  menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dikatakan sebagai destructive fishing yaitu penggunaan bahan peledak seperti bom, penggunaan bahan kimia seperti kalium cianida, dan juga penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti Trawl dan bubu.
Dampak yang ditimbulkan dari destructive fishing adalah sebagai berikut yaitu Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan, Merusak terumbu karang/ habitat lain, Mengancam jiwa/merusak badan manusia itu sendiri, Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain), Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut, dan Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh.

Penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yaitu: pengaturan waktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap, pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan, penegakan hukum, dan pengembangan mata pencaharian.


DAFTAR PUSTAKA



http://coastalunhas.com/incres/data/fa2420db2f9ca24683105e6287b86fa8.pdf
http://www.scribd.com/doc/12065540/Penangkapan-Ikan-Tidak-Ramah-Lingkungan-Dampak-Dan-Penanggulangannya
http://www.scribd.com/doc/14685001/DAMPAK-SOSEK-DESTRUCTIVE-FISHING
http://mukhtar-api.blogspot.com/2008/09/destructive-fishing-di-perairan.html
http://why-theocean.blogspot.com/2013/02/destructive-fishing.html 

ANGIN MONSOON INDONESIA (OSPER)




ANGIN MONSOON INDONESIA
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di bumi. Laut dan  atmosfer bergandengan sangat erat (strongly coupled), sehingga perubahan salah satu komponen akan merubah komponen sistem iklim lain. Karakteristik iklim wilayah Indonesia adalah campuran antara darat dan laut yang membentuk benua maritim. Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia berada dalam suatu sistem pola angin yang disebut sistem angin Monsoon (monsoon). Angin Monsoon bertiup ke arah tertentu pada suatu periode sedangkan pada periode lainnya angin bertiup dengan arah yang berlawanan. Terjadinya angin Monsoon ini karena terjadi perbedaan tekanan udara antara daratan Asia dan Australia (Wyrtki, 1961). Pada bulan Desember – Februari di belahan bumi utara terjadi musim (season) dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim panas sehingga pusat tekanan tinggi di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari daratan Asia menuju Australia. Angin ini dikenal di sebelah selatan katulistiwa sebagai angin Muson Barat Laut atau Angin Monsoon Barat. Sebaliknya pada bulan Juli – Agustus berhembus angin Monsoon Tenggara atau Angin Monsoon Timur dari daratan Australia yang bertekanan tinggi ke daratan Asia yang bertekanan rendah. (Sugiarta ,dkk,2011)
Sirkulasi air laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin Monsoon. Oleh karena sistem angin Monsoon ini bertiup secara tetap, walaupun kecepatan relatif tidak besar, maka akan tercipta suatu kondisi yang sangat baik untuk terjadinya suatu pola arus. Pada musim barat, pola arus permukaan perairan Indonesia memperlihatkan arus bergerak dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa. Di Laut Jawa, arus kemudian bergerak ke Laut Flores hingga mencapai Laut Banda. Sedangkan pada saat Monsoon Tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya akan menuju ke Laut Cina Selatan (Wyrtki, 1961).
Proses Terjadinya Angin Monsoon
Muson (monsoon) terjadi karena daratan menghangat dan menyejuk lebih cepat daripada air. Hal ini menyebabkan suhu di darat lebih panas daripada di laut pada musim panas. Udara panas di darat biasanya berkembang naik, menciptakan daerah bertekanan rendah. Ini menciptakan sebuah angin yang sangat konstan yang bertiup ke arah daratan. Curah hujan yang terkait disebabkan udara laut yang lembap yang dialihkan ke arah pegunungan, yang kemudian menyebabkan pendinginan, dan lalu pengembunan.
Pada musim dingin, udara di darat menjadi lebih sejuk dengan cepat, tetapi udara panas di laut bertahan lebih lama. Udara panas di atas laut berkembang naik, menciptakan daerah bertekanan rendah dan angin sepoi-sepoi dari darat ke laut. Karena perbedaan suhu antara laut dan daratan lebih kecil dibandingkan saat musim panas, angin muson musim dingin tidak begitu konstan. Muson mirip dengan angin laut, namun ukurannya lebih besar, lebih kuat dan lebih konstan.
Maka, akibatnya adalah Gelombang subtropisnya mengarahkan angin-angin timur laut untuk bertiup sepanjang Asia Selatan, menyebabkan air stream kering yang menciptakan langit yang cerah di India dari bulan November hingga Mei. Sementara itu, sebuah sistem bertekanan rendah berkembang di sebelah utara Australia dan angin-angin diarahkan menuju Australia. Pada Muson Musim Dingin Timur Laut, Australia dan Asia Tenggara menerima curah hujan yang besar.

Angin Monsoon

Menurut Wyrtki (1961), keadaan musim di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:
Ü  Musim barat (Desember – April)
 Pada musim Barat pusat tekanan udara tinggi berkembang diatas benua Asia dan pusat tekanan udara rendah terjadi diatas benua Australia sehingga angin berhembus dari barat laut menuju Tenggara. Di Pulau Jawa angin ini dikenal sebagai Angin Muson Barat laut. Musim Barat umumnya membawa curah hujan yang tinggi di Pulau Jawa. Angin muson barat berhembus pada bulan Oktober - April, matahari berada di belahan bumi selatan, mengakibatkan belahan bumi selatan khususnya Australia lebih banyak memperoleh pemanasan matahari daripada benua Asia. Akibatnya di Australia bertemperatur tinggi dan tekanan udara rendah (minimum). Sebaliknya di Asia yang mulai ditinggalkan matahari temperaturnya rendah dan tekanan udaranya tinggi (maksimum). Oleh karena itu terjadilah pergerakan angin dari benua Asia ke benua Australia sebagai angin muson barat. Angin ini melewati Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta Laut Cina Selatan. Karena melewati lautan tentunya banyak membawa uap air dan setelah sampai di kepulauan Indonesia turunlah hujan. Setiap bulan November, Desember, dan Januari Indonesia bagian barat sedang mengalami musim hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi.




Ü  Musim Timur (April – Oktober)
 Pada musim Timur pusat tekanan udara rendah yang terjadi diatas Benua Asia dan pusat tekanan udara tinggi diatas Benua Australia menyebabkan angin behembus dari Tenggara menuju Barat Laut.Di Pulau Jawa bertiup Angin Muson Tenggara. Selama musim Timur, Pulau Jawa biasanya mengalami kekeringan. Angin muson timur berhembus setiap bulan April - Oktober, ketika matahari mulai bergeser ke belahan bumi utara. Di belahan bumi utara khususnya benua Asia temperaturnya tinggi dan tekanan udara rendah(minimum). Sebaliknya di benua Australia yang telah ditinggalkan matahari, temperaturnya rendah dan tekanan udara tinggi (maksimum). Terjadilah pergerakan angin dari benua Australia ke benua Asia melalui Indonesia sebagai angin muson timur. Angin ini tidak banyak menurunkan hujan, karena hanya melewati laut kecil dan jalur sempit seperti Laut Timor, Laut Arafuru, dan bagian selatan Irian Jaya, serta Kepulauan Nusa Tenggara. Oleh sebab itu, di Indonesia sering menyebutnya sebagai musim kemarau. Diantara kedua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau terdapat musim lain yang disebut Musim Pancaroba (Peralihan). Peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau disebut musim kemareng, sedangkan peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan disebut musim labuh. Adapun ciri-ciri musim pancaroba (peralihan), yaitu antara lain udara terasa panas, arah angin tidak teratur, sering terjadi hujan secara tiba-tiba dalam waktu yang singkat dan lebat.



Ü  Musim Peralihan (Maret – Mei dan September – November)
Periode Maret-Mei dikenal seagai musim Peralihan I atau Muson pancaroba awal tahun, sedangkan periode Septemer–November disebt musim peralihan II atau musim pancaroba akhir tahun. Pada musim-musim Peralihan, matahari bergerak melintasi khatulistiwa, sehingga angin menjadi lemah dan arahnya tidak menentu.



SUMBER:
http://kelautankita.blogspot.com/2012/04/angin-monsoon-indonesia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Muson
http://arnudin.blogspot.com/2012/11/arus-monsoon-indonesia-armondo-akibat.html