BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. Pengertian Bluminescence
Bioluminiscence adalah
emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia
tertentu. Hingga saat ini, Bioluminiscence telah ditemukan secara alami pada
berbagai macam makhluk hidup seperti cendawan, bakteri, dan organisme di
perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata
terestrial, amfibi, dan mamalia. Sebagian besar plankton memiliki kemampuan menghasilkan
pendaran, terutama plankton yang hidup di perairan laut dalam. Pada mikroba, Bioluminiscence
yang dihasilkan belum diketahui manfaatnya, sedangkan pada hewan umumnya
digunakan sebagai sinyal kawin, predasi, dan perlindungan terhadap pemangsa. Banyak bakteri yang dapat menghasilkan Bioluminiscence, umumnya
diketahui kemudian bahwa seluruh bakteri tersebut tergolong ke dalam bakteri
gram negatif, motil, memiliki morfologi batang, dan bersifat aerob atau anaerob
fakultatif.
II. 2. Sejarah BioluminescenceTulisan tertua tentang Bioluminiscence dibuat 2500 tahun yang lalu oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul "Tentang Warna". [1] Aristoteles menyebutkan bahwa ada sesuatu yang secara alami seperti bagian kepala ikan dan tinta dari sotong yang dapat menghasilkan cahaya atau pendaran. Pada tahun 1887, Raphaël Dubois berhasil mengisolasi lusiferin (substrat untuk reaksi Bioluminiscence) dan enzim lusiferase (ketalis) dari piddock, sejenis remis laut. Temuan tersebut dipopulerkan dan dilanjutkan oleh Edmund Newton Harvey yang menyatakan bahwa senyawa lusiferin dan lusiferase yang ditemukan pada berbagai spesies makhluk hidup tidak dapat ditukar.
Pada
tahun 1967, Robert Boyle, seorang ilmuwan dari Inggris mempublikasikan
penelitiannya tentang reaksi Bioluminiscence pada fungi yang memerlukan udara.
Laporan berikutnya menyebutkan bahwa oksigen merupakan komponen udara yang
berperan dalam reaksi tersebut. Penelitian tentang Bioluminiscence berkembang
pesat setelah Osamu Shimomura, seorang ahli biologi kelautan dan kimia organik,
berhasil meneliti tentang protein yang bertanggungjawab dalam menghasilkan
luminesensi pada spesies ubur-ubur Aequorea victoria yang disebut dengan
aequorin. Protein tersebut akan berikatan dengan ion kalsium dan menghasilkan cahaya
biru yang diserap oleh protein berpendar hijau ubur-ubur. Pada tahun 1985,
aequorin berhasil dikloning ke dalam makhluk hidup lainnya dan sejak itu
aplikasi Bioluminiscence mulai banyak diteliti.
II.
3. Fungsi Bioluminescence
·
Pertahanan
Setiap
makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang
berbeda-beda. Sebagian makhluk hidup memanfaatkannya untuk pertahanan diri,
seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis
cumi-cumi yang berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga
memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan diri dari predator. Beberapa
jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan menggunakan pendaran untuk melakukan
kamuflase dalam menghindari predator. Mekanisme pertahanan seperti ini
disebut dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu
makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di
lingkungan perairan. Pada spesies bintang ular laut, cacing laut, dan organisme
Bioluminiscence di daratan, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang disebut
aposematisme, yaitu menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk
tersebut memiliki toksik (beracun) atau tidak enak dimakan sehingga predator
akan menghindarinya.
Pendaran
pada larva kunang-kunang juga merupakan salah satu bentuk aposematisme yang
melindunginya dari predator karena akan dikenali sebagai makanan yang tidak
enak atau tidak menguntungkan.Beberapa organisme di laut takut untuk memakan
zooplankton karena sebagian besar zooplankton memiliki pendaran yang tetap
dapat terlihat saat mereka berada di dalam perut pemangsanya. Akibatnya
organisme yang memakan zooplankton tampak berpendar dan ini membuatnya mudah
dikenali dan diburu oleh predator yang lebih tinggi tingkatannya. Fenomena ini
terlihat pada peristiwa dinoflagelata yang menjadi makanan udang misid. Udang
tersebut akan tampak berluminesensi karena di dalam tubuhnya terdapat
dinoflagelata berpendar sehingga ikan Porichthys notatus dapat lebih
mudah memburu dan memakan udang itu.
Predasi
Selain
sebagai mekanisme pertahanan, Bioluminiscence pada makhluk hidup juga banyak
dimanfaatkan untuk memburu mangsa (predasi), di antaranya adalah ikan angel dan
hiuIsistius brasiliensis yang menggunakan luminesensi untuk menarik mangsa
mendekat.
Hiu I. brasiliensis memiliki bagian bawah rahang yang berpendar dan tampak seperti siluet yang dihasilkan dari penyamaran dengan sinar, akibatnya cumi dan ikan akan mendekat karena mengira siluet tersebut merupakan penyamaran dari mangsa mereka. Setelah cumi atau ikan mendekati rahangnya, akan lebih mudah untuk hiu ini dalam menangkap makanannya. . Hal serupa juga dilakukan oleh paus sperma (Physeter macrocephalus) yang secara intensif menghasilkan pendaran saat berburu mangsa di perairan laut dalam yang gelap. Mangsa yang berupa cumi-cumi akan datang mendekati bagian mulut paus sperma yang berpendar dan saat itulah paus ini menangkap mangsanya.
Hiu I. brasiliensis memiliki bagian bawah rahang yang berpendar dan tampak seperti siluet yang dihasilkan dari penyamaran dengan sinar, akibatnya cumi dan ikan akan mendekat karena mengira siluet tersebut merupakan penyamaran dari mangsa mereka. Setelah cumi atau ikan mendekati rahangnya, akan lebih mudah untuk hiu ini dalam menangkap makanannya. . Hal serupa juga dilakukan oleh paus sperma (Physeter macrocephalus) yang secara intensif menghasilkan pendaran saat berburu mangsa di perairan laut dalam yang gelap. Mangsa yang berupa cumi-cumi akan datang mendekati bagian mulut paus sperma yang berpendar dan saat itulah paus ini menangkap mangsanya.
II. 4. Reaksi Bioluminiscence
Secara
umum, reaksi Bioluminiscence melibatkan enzim lusiferase dan substrat lusiferin
yang strukturnya dapat berbeda antara organisme yang satu dengan lainnya. Berikut ini adalah beberapa jenis lusiferin
yang telah diketahui mekanisme dan strukturnya.
Bakteri
Reaksi yang terjadi bersifat
spesifik dan dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2)
(lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan
emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim heterodimer
berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan
subunit beta (β) Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan
subunit β (~37 kDa) disandikan oleh gen luxB.
Selain luciferase, masih terdapat beberapa enzim lain yang terlibat
dalam keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh
suatu operon yang disebut operon lux.
Selain protein-protein yang
disandikan oleh operon lux, masih terdapat 4 protein lain yang memengaruhi
reaksi Bioluminiscence, yaitu lumazine, protein fluoresensi kuning, flavin
reduktase, dan aldehida dehidrogenase.
Lumazine yang ditemukan pada Photobacteriumdan Vibrio berfungsi
memperpendek panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm),
sedangkan protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang
cahaya menjadi 540 nm pada V. fischeri sehingga cahaya yang diemisikan
mengalami perubahan warna. Flavin
reduktase dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2sehingga substrat
tersedia terus-menerus karena diregenerasi.
Yang terakhir adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam
degradasi senyawa aldehida.
·
Ostracod
Substrat lusiferin pada ostracod
(sejenis udang-udangan) berhasil dikristalisasi dan dikarakterisasi pertama
kali pada tahun 1957. Lusiferin jenis
ini banyak terdapat pada genus Cypridina dan Vargula, serta beberapa jenis
ikan. Para peneliti menyatakan bahwa
lusiferin ostracod disintesis dari asam amino triptofan, arginin, dan
isoleusin namun jalur metabolisme pembuatannya masih belum diketahui. Diperkirakan bahwa mekanisme reaksi
luminesensi pada beberapa ikan tergantung dari makanannya. Beberapa jenis ikan dapat berhenti berpendar
apabila kekurangan makanan.
|
II. 5. Aplikasi
Bioluminiscence
Adanya
penemuan tentang Bioluminiscence telah dimanfaatkan manusia di dalam berbagai
bidang, salah satunya adalah bidang medis. Di bidang tersebut Bioluminiscence
dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh secara lebih
cepat melalui suatu teknologi baru yang disebut bioluminescence imaging
(BLI). Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel
kanker dalam tubuh dapat diketahui sehingga tindakan perawatan yang tepat dapat
ditentukan. Temuan ini juga dapat
mempermudah riset mengenai perawatan atau obat kanker yang efektif dapat
mengatasi penyakit tersebut karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan
lebih mudah. Selain itu, Bioluminiscence juga telah dimanfaatkan sebagai gen
pelapor untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca manusia. Penggunaan Bioluminiscence sebagai gen
pelapor juga telah diaplikasikan pada tanaman transgenik hasil rekayasa
genetika. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan gen dari
kunang-kunang pada tanaman tembakau transgenik yang diinfeksi dengan
Agrobacterium tumefaciens untuk mengamati ekspresi dari gen yang dimasukkan ke
tanaman tembakau tersebut. Dalam bidang
ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat digunakan untuk
pembuatan biosensor untuk mendeteksi keberadaan polutan atau kontaminan
tertentu di lingkungan. Salah satu
contoh yang telah diaplikasikan adalah pembuatan biosensor untuk deteksi
senyawa ekotoksik organotin. Dalam
industri makanan, Bioluminiscence yang memanfaakan penggunaan ATP juga telah
dimanfaatkan untuk mendeteksi mikroba patogen yang terkandung di dalam makanan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Bioluminiscence
http://nira15.blogspot.com/2012/07/Bioluminiscence-wikipedia.html
makasih udah share kak
ReplyDeletekartu axis