Thursday, 13 December 2012

BIOLUMINISCENCE


BAB II
PEMBAHASAN

II. 1. Pengertian Bluminescence

            Bioluminiscence adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia tertentu. Hingga saat ini, Bioluminiscence telah ditemukan secara alami pada berbagai macam makhluk hidup seperti cendawan, bakteri, dan organisme di perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata terestrial, amfibi, dan mamalia. Sebagian besar plankton memiliki kemampuan menghasilkan pendaran, terutama plankton yang hidup di perairan laut dalam. Pada mikroba, Bioluminiscence yang dihasilkan belum diketahui manfaatnya, sedangkan pada hewan umumnya digunakan sebagai sinyal kawin, predasi, dan perlindungan terhadap pemangsa. Banyak bakteri yang dapat menghasilkan Bioluminiscence, umumnya diketahui kemudian bahwa seluruh bakteri tersebut tergolong ke dalam bakteri gram negatif, motil, memiliki morfologi batang, dan bersifat aerob atau anaerob fakultatif.
II. 2. Sejarah Bioluminescence
Tulisan tertua tentang Bioluminiscence dibuat 2500 tahun yang lalu oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul "Tentang Warna". [1] Aristoteles menyebutkan bahwa ada sesuatu yang secara alami seperti bagian kepala ikan dan tinta dari sotong yang dapat menghasilkan cahaya atau pendaran. Pada tahun 1887, Raphaël Dubois berhasil mengisolasi lusiferin (substrat untuk reaksi Bioluminiscence) dan enzim lusiferase (ketalis) dari piddock, sejenis remis laut. Temuan tersebut dipopulerkan dan dilanjutkan oleh Edmund Newton Harvey yang menyatakan bahwa senyawa lusiferin dan lusiferase yang ditemukan pada berbagai spesies makhluk hidup tidak dapat ditukar.
Pada tahun 1967, Robert Boyle, seorang ilmuwan dari Inggris mempublikasikan penelitiannya tentang reaksi Bioluminiscence pada fungi yang memerlukan udara. Laporan berikutnya menyebutkan bahwa oksigen merupakan komponen udara yang berperan dalam reaksi tersebut. Penelitian tentang Bioluminiscence berkembang pesat setelah Osamu Shimomura, seorang ahli biologi kelautan dan kimia organik, berhasil meneliti tentang protein yang bertanggungjawab dalam menghasilkan luminesensi pada spesies ubur-ubur Aequorea victoria yang disebut dengan aequorin. Protein tersebut akan berikatan dengan ion kalsium dan menghasilkan cahaya biru yang diserap oleh protein berpendar hijau ubur-ubur. Pada tahun 1985, aequorin berhasil dikloning ke dalam makhluk hidup lainnya dan sejak itu aplikasi Bioluminiscence mulai banyak diteliti.

II. 3. Fungsi Bioluminescence

·         Pertahanan


Setiap makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang berbeda-beda. Sebagian makhluk hidup memanfaatkannya untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi yang berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan diri dari predator. Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan menggunakan pendaran untuk melakukan kamuflase dalam menghindari predator. Mekanisme pertahanan seperti ini disebut dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di lingkungan perairan. Pada spesies bintang ular laut, cacing laut, dan organisme Bioluminiscence di daratan, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang disebut aposematisme, yaitu menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk tersebut memiliki toksik (beracun) atau tidak enak dimakan sehingga predator akan menghindarinya.
Pendaran pada larva kunang-kunang juga merupakan salah satu bentuk aposematisme yang melindunginya dari predator karena akan dikenali sebagai makanan yang tidak enak atau tidak menguntungkan.Beberapa organisme di laut takut untuk memakan zooplankton karena sebagian besar zooplankton memiliki pendaran yang tetap dapat terlihat saat mereka berada di dalam perut pemangsanya. Akibatnya organisme yang memakan zooplankton tampak berpendar dan ini membuatnya mudah dikenali dan diburu oleh predator yang lebih tinggi tingkatannya. Fenomena ini terlihat pada peristiwa dinoflagelata yang menjadi makanan udang misid. Udang tersebut akan tampak berluminesensi karena di dalam tubuhnya terdapat dinoflagelata berpendar sehingga ikan Porichthys notatus dapat lebih mudah memburu dan memakan udang itu.

 Predasi

Selain sebagai mekanisme pertahanan, Bioluminiscence pada makhluk hidup juga banyak dimanfaatkan untuk memburu mangsa (predasi), di antaranya adalah ikan angel dan hiuIsistius brasiliensis yang menggunakan luminesensi untuk menarik mangsa mendekat.
Hiu I. brasiliensis memiliki bagian bawah rahang yang berpendar dan tampak seperti siluet yang dihasilkan dari penyamaran dengan sinar, akibatnya cumi dan ikan akan mendekat karena mengira siluet tersebut merupakan penyamaran dari mangsa mereka. Setelah cumi atau ikan mendekati rahangnya, akan lebih mudah untuk hiu ini dalam menangkap makanannya. . Hal serupa juga dilakukan oleh paus sperma (Physeter macrocephalus) yang secara intensif menghasilkan pendaran saat berburu mangsa di perairan laut dalam yang gelap. Mangsa yang berupa cumi-cumi akan datang mendekati bagian mulut paus sperma yang berpendar dan saat itulah paus ini menangkap mangsanya.

  II. 4. Reaksi Bioluminiscence
   Secara umum, reaksi Bioluminiscence melibatkan enzim lusiferase dan substrat lusiferin yang strukturnya dapat berbeda antara organisme yang satu dengan lainnya.  Berikut ini adalah beberapa jenis lusiferin yang telah diketahui mekanisme dan strukturnya.

Bakteri
             
  Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2) (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase.  Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β) Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan oleh gen luxB.  Selain luciferase, masih terdapat beberapa enzim lain yang terlibat dalam keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut operon lux.
           
   Selain protein-protein yang disandikan oleh operon lux, masih terdapat 4 protein lain yang memengaruhi reaksi Bioluminiscence, yaitu lumazine, protein fluoresensi kuning, flavin reduktase, dan aldehida dehidrogenase.  Lumazine yang ditemukan pada Photobacteriumdan Vibrio berfungsi memperpendek panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm), sedangkan protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang cahaya menjadi 540 nm pada V. fischeri sehingga cahaya yang diemisikan mengalami perubahan warna.  Flavin reduktase dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2sehingga substrat tersedia terus-menerus karena diregenerasi.  Yang terakhir adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam degradasi senyawa aldehida.
·         Ostracod

Substrat lusiferin pada ostracod (sejenis udang-udangan) berhasil dikristalisasi dan dikarakterisasi pertama kali pada tahun 1957.  Lusiferin jenis ini banyak terdapat pada genus Cypridina dan Vargula, serta beberapa jenis ikan.  Para peneliti menyatakan bahwa lusiferin ostracod disintesis dari asam amino triptofan, arginin, dan isoleusin namun jalur metabolisme pembuatannya masih belum diketahui.  Diperkirakan bahwa mekanisme reaksi luminesensi pada beberapa ikan tergantung dari makanannya.  Beberapa jenis ikan dapat berhenti berpendar apabila kekurangan makanan.

II. 5. Aplikasi Bioluminiscence

Adanya penemuan tentang Bioluminiscence telah dimanfaatkan manusia di dalam berbagai bidang, salah satunya adalah bidang medis. Di bidang tersebut Bioluminiscence dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang disebut bioluminescence imaging (BLI).  Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel kanker dalam tubuh dapat diketahui sehingga tindakan perawatan yang tepat dapat ditentukan.  Temuan ini juga dapat mempermudah riset mengenai perawatan atau obat kanker yang efektif dapat mengatasi penyakit tersebut karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah. Selain itu, Bioluminiscence juga telah dimanfaatkan sebagai gen pelapor untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca manusia.  Penggunaan Bioluminiscence sebagai gen pelapor juga telah diaplikasikan pada tanaman transgenik hasil rekayasa genetika. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan gen dari kunang-kunang pada tanaman tembakau transgenik yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens untuk mengamati ekspresi dari gen yang dimasukkan ke tanaman tembakau tersebut.  Dalam bidang ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat digunakan untuk pembuatan biosensor untuk mendeteksi keberadaan polutan atau kontaminan tertentu di lingkungan.  Salah satu contoh yang telah diaplikasikan adalah pembuatan biosensor untuk deteksi senyawa ekotoksik organotin.  Dalam industri makanan, Bioluminiscence yang memanfaakan penggunaan ATP juga telah dimanfaatkan untuk mendeteksi mikroba patogen yang terkandung di dalam makanan.


DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Bioluminiscence
                       
http://nira15.blogspot.com/2012/07/Bioluminiscence-wikipedia.html 

1 comment: